Gilig Guru

Beranda » 2009 » Juni

Monthly Archives: Juni 2009

Menutup Aurat Pria

Eh, yang wajib bukannya wanita to?

Lha, belum dapat undangan ya? Suratnya ada di An-Nuur ayat 30, berbunyi:

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

Ayat ini diletakkan duluan sebelum perintah menutup aurat bagi perempuan, yakni di Surat An-Nuur ayat 31:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa*) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya

Jadi ini adalah undangan terbuka bagi dua belah pihak, tidak ada yang merasa ketinggalan khan? (Jangan nanya untuk para banci, wadam, waria, atau sebangsanya ya). Keterangan *) yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan (bagian muka dan belakang)

BUAT APA SIH
Kalau ada yang menganggap ribet, sebenarnya kamu boleh saja memodifikasi model pakaian Muslim/Muslimah supaya bisa menutup aurat dan di sisi lain praktis, modis, dan nyaman. Suer, gak ada salahnya untuk berkreasi lho! Sebab tujuan menutup aurat disini khan untuk kamu sendiri.

  1. Melindungi kamu, dari si hidung belang. Trust me, you don’t know what other people think about your sexiness. Kita nggak akan tahu bagaimana pandangan orang terhadap kecantikan kita. Apa nggak sadar kalau di jalanan orang suka menjilati kecantikan lawan jenisnya? Itu pelecehan bo!
  2. Membuatmu keren. Eh, kok bisa? kamu lihat yang memakai baju ketat itu menarik perhatian khan? Tapi yang nempeli bakalan para mata keranjang. Kalau kamu ingin tampil keren di mata rekan kerja, mungkin cocoknya pakai jas. Nah, saya bersumpah demi Allah, kalau kamu menutup aurat akan tampak keren bagi orang yang bertaqwa!
  3. Kamu bisa dapat saudara baru. Di luar negeri, pas saya ketemu Muslimah, saya bisa ucapkan salam padanya. Lah, gara-gara suatu ketika ada yang pakaiannya gak beda dengan non-Muslim (alias gak menutup aurat) ya saya diamkan saja. Mana saya tahu kalau dia Muslimah? Waktu dia bersin, saya tidak mendoakannya, waktu dia makan yang mengandung babi atau みりん (khamr), saya tidak mencegahnya, intinya saya mengira dia bukan saudara saya. Coba kalau dia menampakkan identitasnya, bakal banyak temannya to?
  4. Terdaftar sebagai grupnya fans Rosul! kok malah tersenyum…? Beliau sendiri mangatakan kalau kita mencintainya, kita musti ikuti sunnah (ajaran)nya. Kalau tidak mengikuti sunnah, maka bukan golongan beliau. Lha, kalau bukan golongan Nabi khan masuk ke golongan non-Muslim. Whuuua! gue ogah masuk neraka, men!
  5. Maaf ya, ilmu saya masih dangkal… sementara ini dulu. Jadi kalau ada yang bisa nambahin silakan kirim email ke giligpradhana@gmail.com atau komentar di posting ini.

So, ladies and gentlemen, mari menutup aurat!
[Klik gambar berikut untuk memperbesar, atau link ini]

Integrated Subject – Inquiry Learning

KELAS 5 ITU hanya diisi sekitar 30 siswa, diawali sang sensei yang menempelkan topik di papan tulis. [magnetboard ini benar-benar praktis! kapan ya Indonesia mengganti blackboard dan whiteboardnya dengan ini] kemudian meminta siswa membaca keras materi yang akan dipelajari hari ini. Siswa masing-masing berdiri dan membaca keras, dan suasana seperti sarang lebah.

Kata profesor, membaca keras dilakukan agar siswa “bangun”. Kadang-kadang transisi antar pelajaran mengalir kurang berirama sehingga siswa masih terbawa pelajaran sebelumnya, tidak siap menerima pelajaran baru, atau singkatnya gak ngeh.

(lebih…)

Integrated Subject – Inquiry Learning

KELAS 5 ITU hanya diisi sekitar 30 siswa, diawali sang sensei yang menempelkan topik di papan tulis. [magnetboard ini benar-benar praktis! kapan ya Indonesia mengganti blackboard dan whiteboardnya dengan ini] kemudian meminta siswa membaca keras materi yang akan dipelajari hari ini. Siswa masing-masing berdiri dan membaca keras, dan suasana seperti sarang lebah.

Kata profesor, membaca keras dilakukan agar siswa “bangun”. Kadang-kadang transisi antar pelajaran mengalir kurang berirama sehingga siswa masih terbawa pelajaran sebelumnya, tidak siap menerima pelajaran baru, atau singkatnya gak ngeh.

Tema pelajaran bahasa Jepang kali ini adalah peran lebah dalam penyerbukan bunga, hmm… kurang lebih begitu lah, ya. Ampuni bahasa Jepang saya. Setelah itu sensei memberikan kesempatan siswa untuk menggarisbawahi bagian dari naskah bacaan itu yang dianggap penting bagi siswa.

Kira-kira begini, sebagian siswa menganggap bahwa kita perlu menjaga kelestarian lebah sehingga nantinya lebah itu dapat membantu penyerbukan. Siswa yang lain menganggap kita perlu membantu penyerbukan bunga itu secara langsung. Yang lain menganggap bagian yang penting adalah menjaga lingkungan secara keseluruhan, supaya baik lebah dan bunga dapat terjaga kelestariannya. Katakanlah dari masing-masing pendapat itu diwakili oleh sebuah kelompok, maka sensei mencatat pendapat masing-masing kelompok tersebut. Setelah itu beliau membagikan kertas dimana masing-masing siswa menjelaskan pendapatnya tadi. Setelah 10 menit berlalu, beberapa siswa diminta untuk menyampaikan apa yang telah dituliskannya.
Singkat cerita, tahapan pembelajaran metode ini adalah:

  1. Mengemukakan pendapat pribadi
  2. Mendiskusikan dalam kelompok
  3. Mempresentasikannya

Metode pembelajaran yang disebut dengan Inquiry Based-Learning dimana sistem pembelajaran harus didasarkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para murid, dan guru pada sistem ini memiliki tugas tidak memberikan pengetahuan namun dia memfasilitasi anak untuk dapat menemukan pengetahuan itu sendiri. Sehingga guru menjadi seorang fasilitator dibandingkan sebagai sumber pengetahuan. (Ghifti, 2009)

Gambar disamping menunjukkan sang sensei tengah memandu siswa merumuskan analisisnya. Sensei sangat supportive dan friendly terhadap siswa, sehingga mereka bekerja sama seperti teman.

Buku Ilusi Negara Islam yang Penuh Kesalahan Penelitian

Ethical Research Misconduct dalam ‘Ilusi Negara Islam’
Menanggapi buku ‘Ilusi Negara Islam’, beberapa minggu lalu saya menulis tanggapan tentang buku ini. Saya coba mengupas dari sisi lain, yaitu metodologi penelitian.

Seperti sudah takdir, setiap musim PEMILU ada saja isu-isu politis yang dikemas dalam bingkai apolitis, dan terkadang melahirkan kontroversi dan sikap saling tuding. Belakangan, salah satu kontroversi itu muncul dalam bentuk buku yang berjudul Ilusi Negara Islam yang dalam edisi bahasa Inggris tersaji lebih ringkas dengan judul The Illusion of an Islamic State. Buku ini diklaim sebagai hasil dari penelitian LibForAll Foundation, sebuah LSM bentukan C. Holland Taylor bersama Abdurrahman Wahid.

(lebih…)

Keceriaan yang Takkan Kau Lupa di SD

Kali ini saya datang lagi ke ?? SD Yashiro sekitar 5 menit naik mobil bersama teman Laos diantar oleh istri Sensei-nya. Ya, selama ini aku menumpang ke kelas teman-temanku untuk bisa nyelonong ke program kunjungan sekolah mereka. Kami diberitahu bahwa di kelas 5 yang akan kami singgahi nanti, mereka akan belajar bahasa Jepang bertopikkan sejenis bunga yang pengembangbiakannya membutuhkan lebah tertentu.

Tur Sekolah
Sejenak, Sensei mengajak kami berkeliling sebelum kelas dimulai. Di sekolah ini, sepatu harus diganti sandal yang sudah disediakan oleh sekolah di genkan (dekat pintu masuk). Maka di ruang tengah ratusan sepatu siswa disimpan rapi dalam lemari. Ruang tengah ini merupakan muara ke pintu keluar menuju lapangan bermain. Ide menggunakan sandal di dalam gedung sekolah ini tidak saya mengerti betul manfaatnya.

(lebih…)

Keceriaan yang Takkan Kau Lupa di SD

Kali ini saya datang lagi ke 小学 SD Yashiro sekitar 5 menit naik mobil bersama teman Laos diantar oleh istri Sensei-nya. Ya, selama ini aku menumpang ke kelas teman-temanku untuk bisa nyelonong ke program kunjungan sekolah mereka. Kami diberitahu bahwa di kelas 5 yang akan kami singgahi nanti, mereka akan belajar bahasa Jepang bertopikkan sejenis bunga yang pengembangbiakannya membutuhkan lebah tertentu.

Tur Sekolah
Sejenak, Sensei mengajak kami berkeliling sebelum kelas dimulai. Di sekolah ini, sepatu harus diganti sandal yang sudah disediakan oleh sekolah di genkan (dekat pintu masuk). Maka di ruang tengah ratusan sepatu siswa disimpan rapi dalam lemari. Ruang tengah ini merupakan muara ke pintu keluar menuju lapangan bermain. Ide menggunakan sandal di dalam gedung sekolah ini tidak saya mengerti betul manfaatnya. Sementara saya menganggapnya untuk membuat semirip mungkin dengan kebiasaan di rumah di Jepang. Kalau ternyata memang begitu, boleh juga untuk mengadaptasikannya di Indonesia dengan lepas sepatu -kemudian nyeker- di sekolah. Hitung-hitung menjaga kebersihan.

Kami naik ke lantai 2 dan 3, menengok kondisi kelas per kelas. Di sepanjang lorong, keceriaan tidak pernah pudar. Dinding dan kaca semuanya berhias kreasi siswa. Sensei menjelaskan bahwa di bulan Oktober nanti akan ada lomba musikal yang diikuti oleh seluruh siswa. Sehingga kelas 1 hingga kelas 6 dicampurbaurkan untuk dibagi menjadi beberapa tim dengan komposisi sama. Tim ini merancang bendera tim (gambar kanan, teman saya sedang menunjuk salah satu bendera kelas), sorak yel-yel, dan drama musikal, bahkan sampai menjahit sendiri kostumnya. Saya sudah membayangkan saat event berlangsung, pasti para penjual es dan jajanan berkerubung di pagar sekolah memanfaatkan keramaian.

Kegiatan yang Integral
Sekolah ternyata memiliki sebuah kebun yang disitu murid diajari untuk ikut bercocok tanam, memanen hasilnya, memasak, dan menyajikannya untuk orang tua. Dalam pelajaran ini ilmu alam, bahasa, dan ilmu sosial diajarkan sebagai satu pendidikan life skill.

Wah, sayangnya kelas sudah akan dimulai… jalan-jalannya besok lagi ah!

Melatih Berpikir Ala ???(Sekolah Dasar)

Beginilah Sekolah Jepang
Bersama teman dari Brunei, saya mengunjungi sebuah SD di daerah Kato-shi, Jepang. Sebuah kota kecil 50 km dari Kobe, yang kalau ditanyakan ke orang Jepang sekalipun mereka tidak banyak yang tahu.

Sekolah itu terkesan kecil dan sepi. Beberapa anak yang mungkin pulang lebih awal terlihat bermain diluar, memanggul tas kotak yang khas SD di Jepang, mengenakan boots karena hari itu gerimis mulai pagi. Saat masuk ke dalam, bukan main, semua kesan itu hilang. Lorong sekolah penuh dengan murid-murid yang mengepel lantai, menyapu, menata lemari, mengelap jendela, mereka sibuk sekali. Beberapa mahasiswa yang magang membantu dan memberi instruksi pada mereka. Rupanya sebagian waktu istirahat tiap hari adalah untuk piket. (Gambar disamping adalah suasana seusai piket)

(lebih…)

Melatih Berpikir Ala 小学 

Beginilah Sekolah Jepang
Bersama teman dari Brunei, saya mengunjungi sebuah SD di daerah Kato-shi, Jepang. Sebuah kota kecil 50 km dari Kobe, yang kalau ditanyakan ke orang Jepang sekalipun mereka tidak banyak yang tahu.

Sekolah itu terkesan kecil dan sepi. Beberapa anak yang mungkin pulang lebih awal terlihat bermain diluar, memanggul tas kotak yang khas SD di Jepang, mengenakan boots karena hari itu gerimis mulai pagi. Saat masuk ke dalam, bukan main, semua kesan itu hilang. Lorong sekolah penuh dengan murid-murid yang mengepel lantai, menyapu, menata lemari, mengelap jendela, mereka sibuk sekali. Beberapa mahasiswa yang magang membantu dan memberi instruksi pada mereka. Rupanya sebagian waktu istirahat tiap hari adalah untuk piket. (Gambar disamping adalah suasana seusai piket)

Jangan tanya caranya mereka menyapu! Baiklah, kalau memaksa, mereka tidak-membiarkan-debu meski dibalik lemari! Oke, mungkin saya berlebihan, tapi kalau melihat sendiri, pasti kita akan malu.

Bel Masuk
Suasana kelas saat pelajaran dimulai sangat ceria, dalam ruangan yang sangat luas Saya bisa melihat ke luar dari jendela tingkat dua yang besar di seluruh dinding, sehingga lapangan bermain sekolah bisa dinikmati dari sini. Meja guru yang berada di belakang kelas seolah membuat guru akan betah berada di sana daripada di ruang guru. Lebih jauh ke belakang, bermacam-macam prakarya siswa, sehingga saya juga mengira kelas itu sekaligus laboratorium IPA mereka.

Ueda-sensei memulai pelajaran Matematika hari itu dengan sebuah pertanyaan 6 x ロ = 24 (tepatnya saya tidak begitu paham karena -tentusaja- disajikan dalam 日本語 bahasa Jepang medok). Kemudian menempelkan tiga jawaban yang sudah disiapkannya dari rumah.

Pilihan Jawaban

  • Soal A: 4 kantong, masing-masing di dalamnya dimasukkan 6 permen. Berapa jumlah semua permennya?
  • Soal B: Tiap anak membawa 6 permen. Ketika semuanya dikumpulkan, permennya berjumlah 24. Berapa anak yang berkumpul?
  • Soal C: 6 anak membawa permen, yang waktu mereka menghitung jumlah permennya, semuanya 24, berapa permen masing-masing anak itu?

Sensei menyuruh mereka membaca soal nyaring lalu mencatat. Setelah masing-masing siswa menyalin ke bukunya, sensei menanyakan pilihan dari A-B-C yang paling mewakili soal tadi. Kelas segera terpecah menjadi 3 pendapat, kira-kira 1/3 meyakini A, 1/3 memilih B, dan sisanya C. Ini yang mencengangkan… ketika sensei bertanya kenapa, siswa berebut mengacungkan tangan. Seorang anak laki-laki ditunjuk, ia berdiri dan ber-argumentasi!!! (Oh ya, apa saya lupa menyebut kalau mereka siswa kelas 3 SD?)

Tak mau kalah dengan kelompok A, anak laki-laki lain dari pemilih B menyusul berdiri dan ikut mengemukakan bagaimana jawabannya lebih mendekati kebenaran. Seorang anak perempuan kelihatannya tidak serius dengan pelajaran, ia memperhatikan kami -para peneliti- yang berdiri tenang, mencatat, serius di belakang kelas. Kehadiran para peneliti ini agak mencolok, karena jumlahnya saya hitung 1, 2, 3, ..10, 20, …25! Dua puluh lima orang peneliti, dari mahasiswa, peserta training, sampai professor ikut nimbrung di kelas yang diikuti 30 siswa SD itu.

Ee… Anak perempuan itu berdiri, maju ke depan kelas, menerangkan jawabannya, membuat coretan-coretan di papan tulis menunjukkan poin argumentasinya. Saya ternganga. Anak lain berkacamata melawan argumentasi itu dengan menceritakan soal sambil menggambar 6 bulatan besar masing-masing diisi 4 bulatan kecil menunjukkan 6 anak dengan 4 permen. Apresiasi kelas yang cukup positif saya yakin sudah melejitkan kepercayaan diri pada penjawab-penjawab itu. Masih ternganga… anak SD-kah mereka? tanya saya retoris, tak dapat dipercaya!

Ketiga jawaban tersebut adalah benar. Sensei sedang mengeksplorasi pendekatan yang dipakai oleh siswa. Seolah terbangun dari tidur, saya membandingkan bahwa metode hafalan yang selama ini saya ajarkan sebenarnya sudah kuno:

Pendidikan kuno hanya mementingkan HASIL, Pendidikan Modern juga mementingkan PROSES.

Hikmah buat Saya
Mungkin itu sebabnya di Indonesia kemampuan untuk menyampaikan pendapat sangat terbatas, dan toleransi menerima perbedaan pendapat juga tumpul. Keesokan harinya, saya memberi PR bagi murid bahasa Inggris saya, yang ditanyakan oleh orang tuanya, “Kenapa jawaban dalam PR ini benar semua?” Saya menjawab sambil berfilosofi untuk diri sendiri, “Bahasa adalah keahlian berkomunikasi, penting bagi anak untuk memilih ekspresi mana yang paling bisa mengungkapkan pendapat pribadinya. Benar dan salah itu nanti.”

Wisewords – Kata Bijakku

  1. Jangan takut berdakwah, karena itu kewajiban. Orang akan mencela tapi tidak akan membuatmu hina, dan ada yang memuji tapi tidak akan membuatmu mulia. Semua karena Allah.
  2. Everyone is a teacher, some do good things so you can learn to do it, some do bad things and you can learn to avoid it. Be careful of your bad habit.
  3. Everyone is a learner, do good things for them to learn.
  4. Jika seorang berbuat salah padamu, lupakan orangnya, ingat kesalahannya.

Pertanyaan tak terjawab bagi penganut demokrasi

Sebelum menganggap bahwa cita-cita ummat Islam untuk menyatukan dunia dalam satu kepemimpinan adalah ilusi, mari kita mencoba menjawab pertanyaan ini:

  1. Sebutkan 1 negara penganut demokrasi yang paling ideal supaya semua orang yang mendebat demokrasi harus merujuk pada negara tersebut!
  2. Sebutkan 1 orang tokoh penganut demokrasi yang paling baik pemikirannya supaya menjadi patokan bagi semua orang yang ingin mendebatnya!
  3. Sebutkan 1 buku konsep demokrasi yang bisa dijadikan rujukan bagi seluruh orang di dunia.

Setelah menjawab, bersiaplah untuk mengupas jawaban itu satu persatu.

Bila pertanyaan tersebut diajukan pada 1000 orang penganut demokrasi, saya yakin akan ada 1000 jawaban berbeda. Bila itu yang terjadi, sudah jelas bahwa demokrasi hanya ada dalam mimpi para penganutnya, yang hanya akan saling klaim dan selalu menuding kepada yang lain dengan demonologi yang tidak ilmiah.