Gilig Guru

Beranda » 2009 » September

Monthly Archives: September 2009

Ramadhan di Jepang

Ramadhan tahun ini lebih berat rasanya buat saya. Musim panasnya membuat kulit terbakar di suhu rata-rata 35 derajat celcius, dengan siang hari yang lebih panjang. Subuh dimulai jam 3 dan Maghrib baru menjelang pukul 7.30. Pernah saya terheran-heran dengan suasana jam 6 sore yang terang-benderang sementara saya sudah bersiap-siap wudhu untuk menunaikan sholat maghrib.

Beruntung permulaan puasanya di akhir musim panas. Semakin dekat ke musim gugur suhu berangsur sejuk dan siang harinya memendek, hari terpanjangnya cuma 15 jam sehari.

Yang menjadikan puasa di Jepang lebih berat bukan cuma waktunya yang lebih panjang tetapi juga sepinya dari gairah Ramadhan. Tinggal di daerah pedesaan Kato-shi, komunitas Muslim disini hanya bertiga; saya dan keluarga, seorang teman dari Brunei Darussalam dan seorang lagi dari Uzbekistan, negara asal Bukhari sang perawi hadits terkenal.

Masjid terdekat ada di Kobe, kurang lebih 55 km jauhnya yang dapat ditempuh 1 jam dengan mobil pribadi. Dengan jarak seperti itu, praktis kami tidak pernah berangkat sholat tarawih di masjid. Lagipula untuk ke sana ongkosnya tidak murah, pulang-pergi memakan biaya sekitar \2.500 (bila dikurskan dengan Rp 100,- per yen sama dengan Rp 250.000,-) Bagi mahasiswa seperti saya, jumlah itu adalah jatah belanja selama seminggu. Namun mau tak mau kami bertiga memaksakan untuk bisa sholat Jumat, karena hukumnya wajib bagi laki-laki.

Internet adalah satu-satunya cara mengobati kerinduan akan siaran siraman rohani melalui streaming stasiun televisi atau radio dari tanah air. Bahkan adzan pun hanya bisa saya dengar dari software adzan di komputer. Tidak ada lantunan tadarus Qur’an dari tetangga kanan-kiri yang kebanyakan berasal dari Korea atau Cina lantaran mereka atheis.

Pada beberapa kesempatan saya ditanyai oleh orang Jepang hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Yang paling sering adalah perihal jilbab, makanan halal, puasa, dan minuman beralkohol. Mereka selalu heran melihat wanita muslimah yang berjilbab meski di cuaca yang panas. Biasanya bila mulai bertanya, bisa cerewet seperti anak kecil. Seperti kenapa menutup kepala, siapa yang harus melakukannya, mulai umur berapa, boleh tidak dilepas, dan seterusnya. Teman-teman muslimah yang kesulitan menjelaskan dari sisi syariatnya, banyak yang akan beralih ke alasan dari sisi keuntungan jilbab adalah melindungi dari sinar matahari.

Bila saya memberitahu bahwa saat bulan Ramadhan seorang Muslim tidak makan dan minum selama siang hari, mereka akan bersimpati “daijoubu?” (tidak apa-apa?) tanyanya, dan setelah dijelaskan maka biasanya komentarnya, “Wah, bagus juga untuk diet.” Seorang teman memuji bahwa puasanya orang Islam benar-benar bersungguh-sungguh, sebab puasa yang dikenalnya hanyalah larangan makan daging tetapi dia masih bisa menikmati seafood yang justru lebih dia sukai, candanya.

Berbuka puasa di masjid Kobe benar-benar membuat siapapun akan merasakan ukhuwah Islamiyah. Selain karena disana kami bisa melepas keterasingan di tengah budaya Jepang dengan bertemu dengan saudara-saudara seiman dari manca negara, menu buka puasa juga sangat menarik. Tiap hari masakan-masakan dari Muslim pendatang digilir, dan yang paling menjadi favorit adalah hari Selasa, yakni menu masakan Arab.

Ada kalanya orang Jepang tertarik untuk mengetahui tata cara ibadah kaum Muslim. Saya pernah diundang untuk berbuka puasa bersama mereka. Saat bertamu untuk jamuan makan di rumah hostfamily (keluarga persahabatan) saya harus terlebih dulu menjelaskan bahwa saya muslim, tidak minum alkohol, dan tidak makan daging kecuali yang berlabel halal. Lalu mereka akan merinci dengan berondongan pertanyaan lain, “Bagaimana dengan buah? Sayuran? Ikan? Telur?” dan seterusnya. Setelah jelas maka mereka akan rela repot untuk mencarikan makanan yang persis seperti kebutuhan saya. Bahkan saya sempat terkejut ketika mereka menunjukkan kerupuk udang, nasi goreng, dan bumbu gado-gado dari Indonesia yang mereka beli lalu menanyakan apakah makanan itu boleh dimakan. “Daijoubu,” jawab saya. Tetapi dengan menu sushi dan masakan khas Jepang lainnya, tidak pas rasanya kalau dicampur-campur.

Menjelang hari raya, tidak ada rencana mudik atau silaturrahim ke rumah saudara, karena terlalu mahal ongkosnya. Kami cuma bisa berkumpul bersama teman-teman dari Indonesia yang akan menyelenggarakan sholat Id bersama di KJRI Osaka, sambil berharap Idul Fitri kali ini tidak akan terjadi perbedaan lagi.

Perjalanan Liberalisme di Indonesia

Di awal kemerdekaan Indonesia semangat jihad melawan penjajah begitu kental. Seruan untuk mengusir penjajah berkobar dari pesantren. Kalangan santri menjadi pelopor dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tak heran bila di awal berdirinya negara Indonesia, berbagai seruan yang mendukung untuk dibentuknya negara Islam bergaung cukup signifikan. Ini dibuktikan dengan besarnya jumlah dukungan pada partai politik Islam yang mendukung konsep negara Islam. Masyumi, NU, PSII dan semua kaum muslimin yang berafiliasi pada santri saat itu mendukung gagasan negara Islam.

Sayangnya kaum Muslimin miskin politikus maupun negarawan, sehingga sikap akomodatif dan toleransinya dalam pemerintahan dimanfaatkan segelintir orang untuk membelokkan kemerdekaan ke arah demokrasi. Meski tokoh nasional seperti Natsir, Syafruddin, Roem, dan beberapa tokoh Masyumi pada awal kemerdekaan itu hampir tidak ada yang menulis demokrasi liberal. Mereka tahu apa bahaya pemikiran demokrasi liberal. Namun, mengingat lemahnya kekuatan politik kaum Muslimin, mereka terpaksa menerima label demokrasi selama mengadopsi Islam.

Meski demikian, di bawah tekanan orde lama, kekuatan Islam mengalami pergeseran setelah transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, khususnya pada pemikir liberal seperti Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo, dan lain-lain. Mereka menyerang paradigma politik Islam, dengan label-label demonologis. Meski sebetulnya hal itu sudah dimulai oleh Munawir Sadjali. Pada tahun 50-an dia menulis risalah kecil yang menolak negara Islam. Sebagai gantinya, para pengusung liberalisme ini gencar menggembar-gemborkan euforia demokrasi dari barat.

Guna menggeser gerakan syariah, Luthfi Assyaukanie mendikte bahwa demokrasi tidak akan pernah berjalan kecuali di atas platform negara sekuler: negara yang betul-betul memisahkan urusan agama dengan negara. Sehingga peran Islam dalam mengatur hukum pemerintahan perlu dimarjinalkan. Setelah tahun 80-an, dua tokoh liberal Cak Nur dan Gus Dur mulai mengkritisi negara yang terlalu ikut campur dalam urusan agama.

Meski ide sekulerisme ini banyak menimbulkan kontroversi, mengingat masih kuatnya akar budaya santri di tingkat akar rumput, namun media massa mampu membuat mereka ditokohkan dan terpublikasi. Luthfi mengklaim, “Sama seperti orang-orang Masyumi dan kaum santri pada tahun 50-an belum bisa menerima demokrasi, dan tidak bisa menolak konsep negara Islam. Sekarang ini hampir tidak ada orang yang mau menerima negara Islam. Artinya berbalik 180 derajat.”

Keberhasilan gerakan liberal dalam menggeser ide Islam ini tak luput dari dukungan media massa dan beberapa organisasi penyokong dana dari Barat seperti TAF dan universitas-universitas yang menyediakan beasiswa bagi Muslim yang berawasan liberal. Di Indonesia, Adian Husaini mengkategorikan beberapa modus gerakan liberalisme, mulai yang disebut sebagai “eceran”, yakni melalui media massa, maupun yang “partai” yakni tersistem dalam perguruan tinggi. Berarti tahapan liberalisasi Islam sudah hampir mencapai klimaksnya: sekulerisme.