Gilig Guru

Beranda » 2021 » Desember

Monthly Archives: Desember 2021

Sikap Toleran Kristen & Muslim Saat Natal

Seorang Nasrani sejati, meski tak diberi ucapan Natal, tak akan berkurang kadar bahagianya dan ia memaklumi pendapat saudaranya yang berbeda Iman…

Seorang Muslim sejati, meski tak mengucapkan Natal, tak akan berkurang rasa sayangnya terhadap saudaranya yang berbeda Iman …

Agamamu, tetap agamamu, agamaku tetap agamaku, namun engkau adalah saudaraku yang mesti kujaga, kusayangi dan kuhormati, sebagaimana engkau menjaga, menyayangi dan menghormatiku *😊* I love you all

Dari FB Prof. Dr. Dr. Ir. Nur Richana

Pemimpin itu Bukan Gelar yang Dicari

Hadirnya seorang pemimpin akan dirasakan saat beban umat dipikulnya.

Namun saat umat justru terbeban dengan kehadirannya, maka dia adalah penikmat sejati, meski dirinya memproklamirkan sebagai pemimpin.

Bukan gelar yang dicari, melainkan kesempatan pengabdian.

Begini Harusnya Pendidikan Islam

Mata pelajaran agama tidak boleh menjadi sesi membosankan bagi murid, kemudian ujiannya dijadikan ajang mengarang bebas. Yuk kita belajar dari cara Rasul mengajarkan agama kepada sahabat yang hasilnya luar biasa: GENERASI TERBAIK!

Suatu hari aku pernah berboncengan bersama Nabi SAW.

Demikian kisah Ibnu Abbas dimulai, lalu di atas kendaraan itu Rasulullah SAW bersabda, “Hai Nak, sungguh Aku akan mengajarimu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Apabila kamu meminta sesuatu mintalah kepada Allah, apabila engkau memohon pertolongan maka mintalah kepada Allah.”

Apa yang baru saja terjadi adalah pelajaran iman. Rasulullah sedang menanamkan iman kepada anak yang baru berusia SD (antara 6-12 tahun). Resapilah isinya. Pelajaran baginda Nabi langsung masuk ke hati, karena memang tujuannya adalah untuk mengubah.

Maka pelajaran agama di sekolah tujuannya tidak boleh hanya agar dapat menjawab soal ulangan. Jangan sampai murid hafal enam rukun iman tapi perilaku kesehariannya masih percaya kepada tahayul, meyakini hantu gentayangan, minta-minta kepada “roh penunggu” dan sebagainya.

Masih dalam hadits yang sama, Nabi SAW melanjutkan, Ketahuilah, kalau seandainya umat manusia bersatu untuk memberikan kemanfaatan kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan untukmu, dan kalau seandainya mereka bersatu untuk menimpakan bahaya kepadamu dengan sesuatu, niscaya tidak akan membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan akan menimpamu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.

Menjaga Allah

Tentu maksudnya tidak sama seperti cara Allah menjaga kita. Penjagaan Allah maha luas, maha sempurna, dan jangkauannya meliputi dunia akhirat. Tapi seorang anak bisa memahami kalimat pendek itu sesuai dengan tingkatan usianya.

Allah swt menjaga kita dengan berbagai macam cara yang tiada bandingannya, lebih daripada penjagaan seorang ibu hamil kepada bayi yang dikandung di perutnya. Ibu hamil sangat berhati-hati menjaga rahimnya, sampai-sampai susah tidur dan susah makan, berkorban demi anak yang belum pernah melihatnya. Seumpama itulah Allah Sang Maha Rahim menjaga hamba-hambaNya meski kita belum mengenalNya, namun Allah menjamin rizki makhluknya tanpa kecuali, berupa kesehatan, keluarga, kebahagiaan. Di akhirat, Allah menjaga orang beriman dari siksa neraka-Nya.

Maka menjaga Allah adalah dengan taat kepadaNya. Mulai dari menjaga sholat lima waktu dalam sehari, menutup aurot (berjilbab), menghindari maksiat seperti pacaran, minuman beralkohol, hutang riba, dan syariat Islam lainnya.

Menjaga Allah itu bukan berarti Allah membutuhkan penjagaan. Namun Allah merendahkan bahasa agar menjadi dekat dengan hamba-Nya sehingga mudah diraih bagi siapapun. Kalimat serupa ini sering kita dengar dari ibu kita, “Terimakasih ya Nak, sudah membantu ibu.” Padahal tidak seberapa bantuan yang bisa diberikan seorang anak kecil. Namun sang ibu begitu menghargai upaya anaknya karena besarnya cinta kepadanya.

Ruh Pesantren

Itulah gambaran cara seorang guru menanam pelajaran iman. Yang disentuh adalah hatinya. Sehingga kalau hati sudah tersentuh, maka akan bergetar. Lalu muncullah dorongan beramal sholih, menjadi kuatlah tekadnya untuk menjadi orang yang beriman.

Pendidikan agama bukan diberikan sekedar untuk menghadapi ujian, bukan sekedar untuk lulus dengan nilai terbaik, bukan pula sekedar demi mendapat pekerjaan yang baik. Semua tadi adalah manfaat duniawi. Namun menjadi sia-sia kalau tidak mengutamakan pentingnya akhirat.

Inilah makanan sehari-hari di dunia santri. Murid ditempa dalam waktu yang lama agar jiwa benar-benar kokoh memegang agamanya. Bukankah dalam lagu Indonesia Raya kita menyanyikan, “bangunlah jiwanya bangunlah raganya.” Yang dibangun jiwa dulu, baru raga (fisik).

Kyai di pondok beserta para ustadz tidak henti-hentinya mengajak, mencontohkan, dan membimbing santri untuk sholat 5 waktu, menghafalkan Al-Qur’an, berperilaku islami, mandiri, tidak tergantung kepada orang tua, tidak kecanduan pada teknologi (gadget), semua itu dalam kerangka agar anak benar-benar kuat pondasinya sebelum nanti diajari ilmu-ilmu dunia.

Kalau seandainya orang tua mampu berperan sebagai guru di rumah, maka cukuplah anak belajar kepada ayahnya atau ibunya. Namun kenyataannya, untuk membaca iqra saja tidak sedikit yang mengirimkan anak ke TPQ. Bagaimana dengan kebutuhan ilmu yang lebih tinggi dan tidak kalah pentingnya?  

Kalau untuk menyiapkan urusan pekerjaan, anak disiapkan keterampilannya ke SMK, kursusan, atau kampus, kenapa urusan pernikahan dan rumah tangga, anak tidak disiapkan sekolahnya? Memangnya panduan terbaik untuk menikah siapa yang bisa mengajarkan kalau bukan Rasulullah? Padahal kelak mereka akan lebih banyak hidup bersama keluarganya daripada bersama rekan kerjanya. Ya kan?

Kalau untuk semua urusan dunia, kita menghabiskan waktu yang cukup panjang, bagaimana dengan urusan akhirat nanti…? padahal di sana adalah kampung abadi tempat kita kembali nanti.

Pondok itu tempat menempa jiwa dan raga, bagi mereka yang bercita-cita akhirat.

Kenapa tidak ada gading yang tidak retak?

Perburuan Gajah: Sebagian besar gading yang dijual berasal dari Tusker (gajah Afrika yang memiliki gading panjangnya mencapai tanah) yang baru dibunuh. Penelitian menunjukkan
wawasan tentang perburuan gajah di Afrika, menggunakan penanggalan karbon untuk mengetahui usia lebih dari 230 spesimen gading yang disita antara tahun 2002 dan 2014. (https://pin.it/3G96g3q)

Pepatah ini menghubungkan antara fenomena dengan karakter manusia, mengingatkan saya kepada keluarga.

Gading adalah senjata bagi gajah, seperti tanduk bagi banteng, cula bagi badak, dia adalah gigi seri yang tumbuh untuk mencari makan, mencongkel tanah, untuk mempertahankan diri dari musuh. Tidak semua gajah memiliki gading, gajah Asia hanya pejantan yang memiliki gading, dan itupun ukurannya lebih kecil dari gajah Afrika rata-rata yang beratnya mencapai 23 kilogram. Karena merupakan gigi, gading tidak dapat diperbaiki atau tumbuh lagi kalau rusak atau patah. Kelangkaan ini membuat gading dijadikan perhiasan, senjata, alat bantu, bahkan dijadikan jimat bagi penganut syirik.

Perburuan gading menurut saya adalah hal yang seharusnya dilarang, namun pemanfaatan gading (dari hewan yang sudah mati) tentu membawa manfaat besar. Selama bukan untuk hal yang bertentangan dengan Islam. Kita tentu tidak boleh menjadi bagian yang merusak alam, justru manusia ini dalam Islam ditugaskan menjadi khalifah yang melestarikan bumi.

Keris Tajung. Lambang Raja-Raja Langkasuka Yg Berdaulat
Keris Tajung ini adalah salah satu koleksi yang sarung dan hulunya daripada gading dan ditatahkan perak bersepuh emas dan permata delima. Bilahnya adalah dari jenis pandai saras lurus antik yang masih utuh keadaannya. (https://pin.it/ulQV9qM)

Namun di dunia para pemburu gading, harganya yang mahal membuat orang mencari yang lebih besar dan lebih mulus.

Mungkin disinilah muncul pepatah, “Tidak ada gading yang tak retak.” Sesempurna apapun keindahan yang kita nikmati, pasti ada satu dua hal yang cacat. Sebuah pelajaran yang bisa kita renungkan saat mencari jodoh, suami yang sholih sekalipun tetap saja memiliki sisi kelemahan, istri yang idaman juga tak lepas dari kekurangan, mendidik anak sebaik apapun tetap saja orang tua harus siap menemui hal-hal yang tidak berkenan, apalagi saat memilih tempat tinggal, bertetangga, menerima karyawan, bertemu rekan kerja, membeli barang dan sebagainya.

Siapkan ruang untuk menerima cacatnya dunia, karena hati yang terlalu berharap akan mudah jatuh dalam kekecewaan. Bersikap legawa, meluaskan dada untuk menyimpan kekurangan-kekurangan itu, memaafkannya dan melupakannya. Bukankah dada yang sempit akan cepat memuntahkan masalah yang masuk? Tidak sempat mencerna, tidak lagi memikirkan jauh ke depan.

Tentu, ada kesalahan yang harus diluruskan. Tidak untuk ditelantarkan. Ada pendidikan yang tetap harus diberikan. Tapi tidak dengan tergopoh-gopoh, tidak dengan panik, tiba-tiba ngegas. Tapi kesadaran bahwa tidak ada gading yang tak retak akan menjadikan kita sosok yang menerima apa adanya. Memahami bahwa upaya kita meluruskan kesalahan pada akhirnya harus tunduk pada takdir Allah, hendak Dia luruskan atau Dia biarkan, sesungguhnya Allah-lah Maha pembolak-balik hati.