Gilig Guru

Beranda » 2009 » April

Monthly Archives: April 2009

Sakura di negeri matahari terbit

Dari jendelaku sakura berkelopak berjejer-jejer sepanjang jalan, putih bersemu merah muda. Pemandangan indah yang disuguhkan Allah swt bagiku setiap pagi, disiram matahari pagi, sepanjang hari. Indahnya sakura saat bermekaran, tak kalah indah saat dia gugur disapu angin, beterbangan seperti ratusan kupu-kupu yang bermain berkejar-kejaran di taman.

Hatiku bergumam, sayang, seandainya istriku dan anak-anakku ada disini untuk menikmati. Kemudian hatiku memberontak, ia mengingatkanku: betapa kurang rasa syukurku padaNya. Bahwa ternyata diriku masih mengharapkan lebih dari apa yang telah kugenggam di tanganku. Diriku masih berandai-andai, padahal diriku telah dilebihkannya dari jutaan manusia yang lain dalam karuniaNya. Astaghfirullah.

Duhai Allah, karuniakan padaku mata yang pandai bersyukur, hati yang selalu cukup, ingatkan selalu aku akan cintaMu.

Genki ni Narimasu

*Sudah lebih baik… di asrama.

Terima kasih teman-teman, Islami yang menampung saya di malam pertama saya menggigil, Pak Dhe Sakarinto Wikan yang ngawal saya dari rumah sakit ke rumah sakit, Rani yang memasakkan bubur, Adachi-san yang menjemput saya jauh-jauh 50km lalu menampung di rumah beliau yang besar, Takashima-san yang berbelanja untuk saya, Fifi yang membuatkan makan siang, dan yang lain yang tak sempat diketikkan satu per satu.

Juga terima kasih atas doa-doanya, saran medis dari dr. Gunadi, dan bu Aisyah Jauharoh, doa kalian sangat penting untuk saya.

Beruntung, benar-benar beruntung diri saya ini, oleh Allah dimanjakan dengan cinta orang-orang terdekat dengan saya. Sehingga terhibur setelah perpisahan dengan keluarga. DiingatkanNya saya akan syukur yang sudah lama saya lupakan, rasanya indah sekali, dan keindahan itu terasa hangat sekali dalam hati saya.

Terima kasih ya Allah, Engkau mengijinkanku kembali merasakan keindahan syukur dari hati.

Materialisme Jepang

Saat terbaring sakit di rumah sakit aku bertanya pada Gunung Tinggi-san, karyawan administrasi universitas. Dia yang mengantarkanku kesini. “Boleh aku bertanya hal pribadi?” Tentu saja kami berkomunikasi dalam bahasa Inggris.

“Sure” Jawabnya ramah, seolah menyukainya.

“Apa agamamu?” Reaksinya seolah ia tidak mengira akan ditanya tentang hal ini. Dalam penjelasannya Si Gunung Tinggi tampak tidak begitu yakin bahwa “I’m a shintoist”, ketika kutanya kenapa, dia menjelaskan bahwa keyakinan itu turun-temurun, sehingga menjadi tradisi, warisan, kebudayaan, identitas, namun dirinya sendiri belum mendeklarasikannya. Kadang-kadang dia juga pergi ke kuil Budha, sebagaimana orang Jepang pada umumnya, mereka mencampuradukkan agama dan ikut merayakan pernikahan di gereja, meski tidak mempraktikkan ajaran Kristen.

Adalah menarik saat dia menjelaskan tentang tabu, kalau ia menikah pada hari baik ia akan berdoa “Ya Tuhan, Engkau sungguh benar, aku sangat berterima kasih padaMu”. Sedangkan bila ternyata pilihan harinya buruk, maka ia akan tetap menikah dan berdoa, “Ya Tuhan, kali ini Engkau salah, dan aku tidak akan percaya lagi padaMu.”

Aku tertawa sampai menangis.
Tuhan dimarahi? gebleg banget Jepang ini.