Gilig Guru

Beranda » Artikel » 5 Perbedaan Menuntut Ilmu Antara Sekolah Islam dengan Umum

5 Perbedaan Menuntut Ilmu Antara Sekolah Islam dengan Umum

Masukkan alamat email anda

Bergabung dengan 5.003 pelanggan lain

Blog Stats

  • 180.137 hits

Follow me on Twitter

Sama-sama belajar, namun kalau berbeda ruhnya, berbeda tujuannya. Berikut ini adalah lima perbedaan antara ruh menuntut ilmu di sekolah agama:

1. Menekankan niat ikhlas dalam menuntut ilmu.

Seorang hukama berkata berkata: “Dulu kami menuntut ilmu di masjid-masjid, lalu sekolah-sekolah pun dibuka, maka hilanglah barakah, lalu dibuatlah kursi-kursi untuk murid, maka hilanglah tawaduk dan kemudian diadakanlah ijazah, maka hilanglah keikhlasan!”

Maksudnya, dahulu muslim itu belajar di masjid. Maka sekedar berjalan menuju ke tempat belajar pun mendapatkan pahala dan dinaikkan derajat, saat memasukinya didoakan para malaikat, berdiam di dalamnya dinilai itikaf. Maka ketika dipindahkan ke bangunan terpisah, disebutlah madrasah atau sekolah, sebuah tempat yang digunakan khusus untuk belajar, bukan untuk sholat, maka semua keberkahan masjid pun tidak diraih.

Sedangkan maksudnya kursi adalah, dulu murid belajar duduk di lantai, sedangkan guru duduk di tempat yang lebih tinggi. Sebagai sebuah pendidikan untuk memuliakan orang yang berilmu (ahli ilmu), sambil menanamkan kerendahan hati. Kemudian dibuatkan kursi untuk murid, sehingga murid sama tinggi dengan guru. Kini murid merasa gurulah yang melayaninya, karena diri merasa sudah membayar upah guru.

Dulu guru yang menentukan apakah ilmu yang diajarkannya boleh diajarkan kembali oleh muridnya kepada orang lain, guru yang melepas apakah muridnya sudah layak atau menahannya karena belum tuntas. Ketundukan murid adalah kepada guru. Masyarakat akan mengenal kualitas murid dengan melihat kepada gurunya. Kemudian karena banyaknya, dibuatkanlah ijazah, yakni lembar pengakuan bahwa sang murid telah diuji dan layak untuk mengajarkan ilmu. Kini kita merasa hal itu aneh, karena ijazah bukan berarti untuk mengajar, melainkan untuk gengsi. Kamu lulus darimana, nilainya berapa. Selain itu juga untuk bekerja, karena niat kita menuntut ilmu sejak semula bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, melainkan karena takut keesokan hari perut lapar tidak punya uang karena tidak bekerja.

2. Jangankan untuk tujuan bermaksiat, untuk berdebat pun tidak boleh.

Hadits Anas secara marfu’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

من تعلم العلم ليباهي به العلماء، أو ليجاري به السفهاء، أو ليصرف به وجوه الناس إليه، فهو في النار

‘Barangsiapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk membanggakan diri di hadapan ulama atau untuk mendebat orang-orang  bodoh, atau agar dengan ilmunya tersebut semua manusia memberikan perhatian kepadanya, maka dia di neraka.’ [HR. Ibnu Majah dalam Al Muqoddimah (253)]

Maka sekolah agama (seharusnya) tidak mendorong muridnya untuk lekas viral, tidak mengejar-ngejar prestasi, menyibukkan diri dengan perlombaan, yang tujuan semua itu agar sekolahnya terkenal. Seringkali penuntut ilmu mengajarkan, menulis, atau menyebarkan tulisan namun dengan niat agar dirinya mendapat banyak likes dan followers. Ini niat yang keliru dan diancam. Niat keliru walaupun menumpang ke atas amal sholeh, justru akan merusaknya.

(Belum tuntas… semoga bisa dilanjutkan besok)

3. Melahirkan rasa takut.

“Hanya ulamalah yang takut kepada Allah swt,” (QS Fathir, ayat 28).

Takut tidak menjalankan perintah Allah dan takut melanggar larangan Allah.

4. Sudahkah kita amalkan?

dalam sebuah atsar,

من عمل بما علم أورثه الله علم ما لم يعلم

“Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah ia ketahui maka Allah akan mewariskan (mengajarkan) kepadanya ilmu yang belum ia ketahui”

5. Menyampaikan ilmu, bukan untuk banyak-banyakan pengikut.

Dan (ingatlah), ketika Allâh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya!” [Ali-‘Imrân/3:187]


Tinggalkan komentar

Jumlah Pengunjung

  • 180.137 orang

See me